“ NYEKAR LELUHUR SEBELUM RAMADHAN
UNTUK INGATKAN KITA AKAN KEMATIAN “
Hari Ke 453
Menyambut
datangnya bulan Ramadan dan Syawal, masyarakat menyambutnya dengan berbagai
tradisi yang unik dan sekaligus merepresentasikan kesukacitaan mereka akan
hadirnya bulan suci yang penuh rahmat dan berkah ini. Berbagai kegiatan dan
upacara tradisi dilaksanakan, tidak hanya yang indah dinikmati oleh yang masih
hidup, semisal menata dan memperindah tempat tinggal dan tempat ibadah, tetapi
juga menyuguhkan “sajian lezat” bagi mereka yang sudah tiada. Seperti berdoa
secara massal, dan juga ziarah kubur keluarga secara bersama dengan menabur
bunga, atau lazim disebut dengan istilah “nyekar”. Konon, tradisi ini muncul
berkat akulturasi budaya Islam-Jawa-Hindu, yang mana dalam kepercayaan Jawa,
roh adalah abadi dan selalu “pulang” menemui keluarga pada setiap bulan “Ruwah”
(dalam kalender Islam disebut Sya’ban), Ruwah berasal dari kata “Arwah” bentuk
plural dari “Ruh” yang berarti roh. Sehingga, menurut kepercayaan ini, bulan
Ruwah merupakan momentum untuk saling bertegur-sapa antara mereka yang sudah
meninggal dengan mereka yang masih hidup. Hindu juga memiliki sapaan khas
dengan roh nenek moyang dengan beragam sesaji, salah satunya adalah bunga
(Jawa: sekar). Kemudian dalam Islam, ziarah kubur merupakan hal yang sangat
positif dilakukan sebagai wahana mengingat akan kematian. Sehingga, dari sisi
ritual, tradisi “nyekar” ini merupakan hal yang sangat positif, di samping
sebagai wahana memperkuat tali salaturrahmi “lintas-alam” juga menjadi sarana
mempertebal keimanan akan kehidupan setelah dunia. Interpretasi terhadap makna
tradisi “nyekar” ini memang harus lebih produktif. “Nyekar” bukan hanya
realitas dari praktik keagamaan atau kepercayaan, tetapi bahkan lebih luas dari
itu, tradisi “nyekar” melibatkan ranah kebudayaan, sosial, bahkan ekonomi.
Karena tradisi “nyekar” di samping merupakan bentuk akulturasi dan model budaya
keislaman pribumi, “nyekar” juga merupakan ajang merajut kembali akar historis
serta merefleksikan masa depan. Artinya, dengan “nyekar” yang dimaknai secara
lebih mendalam, seseorang diharapkan dapat merefleksikan sisi-sisi historis
eksistensinya, dari mana dia berasal serta bagaimana dia dibesarkan dan
dilimpahi kasih sayang oleh orang-orang yang dia datangi di maqbarahnya itu.
Dengan begitu, diharapkan timbul rasa sayang, iba, dan harapan besar akan
ampunan dari Tuhan untuk mereka yang telah “kembali” tersebut. Dan di sinilah
ketulusan dan keikhlasan terwujud. Tidak hanya itu, tradisi “nyekar” juga diharapkan
dapat merefleksikan apa yang harus diperbuat seseorang untuk masa depan, yang
telah berada di dalam kubur pasti telah “meninggalkan” banyak “pekerjaan” yang
belum terselesaikan, bisa berbentuk cita-cita perjuangan, atau bahkan hal-hal
yang mungkin harus diperbaiki dalam kehidupan ke depan. Nah, yang masih hidup
inilah yang harus “meneruskan” cita dan harapan tersebut serta memperbaiki
semuanya. Kemudian yang tak boleh terlupakan bahwa tradisi “nyekar” harus
menjadi wahana mengingat kematian, yang mana kematian adalah hal yang pasti,
tetapi mati dengan tenang dan husnul khatimah bukanlah sesuatu yang mudah.
Untuk mencapai ujung hidup yang indah harus pula terwujud upaya maksimal yang
indah pula. Karena dalam bahasa agama, hanya yang kita perbuatlah yang nanti
kita bawa sebagai bekal menghadap-Nya, berupa amal yang tiada putus pahalanya
(amal jariyah), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang senantiasa
mendoakan. Saat ini, tidak lagi relevan membicarakan apakah tradisi “nyekar”
adalah merupakan hal yang halal atau haram, sunnah atau bid’ah, dianjurkan atau
bahkan terlarang. Karena dalam realitas kebangsaan dan keberagamaan di
Indonesia, akulturasi budaya selalu menjadi hal yang bahkan “memperkaya”
dimensi-dimensi kehidupan. Tradisi “nyekar” dengan mengunjungi makam tertentu,
apakah makam saudara, kerabat, tokoh-tokoh “hebat”, dan lainnya, ditambah
dengan upacara tabur bunga di atasnya, ternyata telah terpraktekkan sepanjang
sejarah peradaban bangsa ini, lantas, apa yang salah? Yang salah hanyalah apabila
terjadi disorientasi dalam tradisi tersebut. Tradisi nyekar yang semula
diniatkan untuk selalu mengenang jasa dan cita-cita mereka yang telah tiada,
yang asalnya dimaksudkan sebagai wahana mengingat kematian dan kehidupan
setelah kematian, sebagai ajang refleksi dan interospeksi diri, serta sebagai
wahana “balas budi” dengan sebanyak-banyaknya serta seikhlas-ikhlasnya mengirim
untaian doa pengampunan, malah berubah menjadi praktik-praktik “kemusyrikan”,
menyembah kuburan, meminta-minta kepada kuburan, bahkan menggantungkan urusan
hidup dan kehidupan dengan “wangsit” dari kuburan. Inilah yang perlu
diluruskan. “Nyekar” harus selalu dilakukan sebagai wujud masyarakat yang
berbudaya, yang keberagaman dan keberagamaannya terlihat syi’ar lahir-batin.
Dengan tradisi “nyekar” akan terlihat adanya komunikasi yang selalu terbangun
antara mereka yang telah meninggal dan mereka yang masih hidup, dan itu
seharusnya menjadi bukti nyata bahwa mereka yang telah “kembali” ke hadirat-Nya
adalah orang-orang yang “terkenang” dan bukan yang “terlupakan”, sekaligus
membuktikan bahwa mereka yang masih hidup dan mengunjungi dengan taburan bunga
dan untaian doa-doa merupakan generasi shalih yang selalu mendoakan. Tradisi
“nyekar” (terlebih yang dilakukan di akhir sya’ban, mengahadapi ramadhan) juga
menjadi pengingat –secara kultural- bahwa kita harus bersiap memasuki bulan
yang penuh berkah, rahmah, dan ampunan, sehingga untuk mencapai itu semua,
perlu yang namanya pembersihan diri (tazkiyatun nafs), di atara caranya adalah
dengan memperbanyak istighfar, membaca ayat-ayat suci, minta maaf pada sanak
saudara baik yang hidup maupun yang telah meninggal, serta mengingat akan
kematian dan kehidupan setelah kematian, dan langkah-langkah semacam ini
terwadahi dalam satu ritual yaitu “nyekar”. Begitu pula yang dilakukan di akhir
ramadhan (menghadapi syawwal), seakan-akan mengingatkan bahwa bulan termulya
sebentar lagi meninggalkan kita, sehingga sudah seharusnya kita tetap
mempertahankan berkah, rahmah, dan ampunan yang -insya Allah- telah kita raih
di Ramadhan kemarin, dengan tetap menjaga “kesucian” diri menuju fitrah, tidak
melupakan istighfar, tidak melalaikan membaca ayat-ayat suci, tetap mengenang
dan mendoakan mereka yang telah kembali pada-Nya, serta tetap menjaga
silaturrahmi “lintas-alam” sebagaimana ramai dan hangatnya tempat-tempat
pemakaman pada hari-hari tersebut. Inilah syi’ar budaya, yang sudah selayaknya
kita apresiasi sebagai sebuah tradisi yang “mengingatkan”, meramaikan, serta
mencerahkan syi’ar keagamaan kita. Selamat ber-Ramadhan dan berpuasa, semoga
Allah selalu melimpahkan keberkahan, kasih sayang dan ampunan-Nya kepada kita
sekalian, mu’min yang taat.
Puasa
Ramadhan 1442 H Insyah Allah kurang 1 Hari lagi , hal ini dimanfaatkan oleh
Penulis yang sekaligus Kepala SMP PGRI 6 Surabaya Sekolah Peduli Berbudaya
Lingkungan yang terletak Di Jalan Bulak
Rukem III No 7 – 9 Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Pada Hari Minggu 11/4/2021 Penulis bersama
Ayah Penulis pada Pukul 16.00 Berangkat dari rumah menuju ke Makam Rangkah JL
Kenjeran 131 Surabaya , Sebelum masuk ke
makam Rangkah Penulis dan Ayah Membeli bunga di daerah SIDOYOSO , Selesai
membeli bunga Penulis yang Alumni JURUSAN PLS UNESA Kelahiran APRIL 1984
Langsung masuk ke makam leluhur di sana penulis dan ayah penulis membacakan Tahlil untuk Leluhur
mula dari Mbah . BUDHE Dan PAKDE, Setelah itu penulis dan Ayah Penulis
memasukan Bunga yang dibeli tadi ke dalam air yang sudah di siapkan oleh
Penjaga Makam , Setelah itu penulis menyiramkan ke makam Mbah . Budhe Dan
PAKDE. Tujuan dari kegiatan hari ini adalah menyambut datangnya bulan Ramadan
dan Syawal, masyarakat menyambutnya dengan berbagai tradisi yang unik dan
sekaligus merepresentasikan kesukacitaan mereka akan hadirnya bulan suci yang
penuh rahmat dan berkah ini tradisi “nyekar” ini merupakan hal yang
sangat positif, di samping sebagai wahana memperkuat tali salaturrahmi
“lintas-alam” juga menjadi sarana mempertebal keimanan akan kehidupan setelah
dunia. Interpretasi terhadap makna tradisi “nyekar” ini memang harus lebih
produktif. “Nyekar” bukan hanya realitas dari praktik keagamaan atau
kepercayaan, tetapi bahkan lebih luas dari itu, tradisi “nyekar” melibatkan
ranah kebudayaan, sosial, bahkan ekonomi. Karena tradisi “nyekar” di samping
merupakan bentuk akulturasi dan model budaya keislaman pribumi, “nyekar” juga
merupakan ajang merajut kembali akar historis serta merefleksikan masa depan.
Artinya, dengan “nyekar” yang dimaknai secara lebih mendalam, seseorang
diharapkan dapat merefleksikan sisi-sisi historis eksistensinya, dari mana dia
berasal serta bagaimana dia dibesarkan dan dilimpahi kasih sayang oleh
orang-orang yang dia datangi di maqbarahnya itu. Dengan begitu, diharapkan
timbul rasa sayang, iba, dan harapan besar akan ampunan dari Tuhan untuk mereka
yang telah “kembali” tersebut. Dan di sinilah ketulusan dan keikhlasan
terwujud. Tidak hanya itu, tradisi “nyekar” juga diharapkan dapat merefleksikan
apa yang harus diperbuat seseorang untuk masa depan, yang telah berada di dalam
kubur pasti telah “meninggalkan” banyak “pekerjaan” yang belum terselesaikan,
bisa berbentuk cita-cita perjuangan, atau bahkan hal-hal yang mungkin harus
diperbaiki dalam kehidupan ke depan. Selesai dari Makam RANGKAH Penulis Dan
Ayah Beserta PENJAGA Makam Membelikan BERAS Untuk PENJAGA Makam dan Keluarga.
Semoga Tahun 2021 Penulis dan Keluarga di berikan Kesehatan Kelancaran REZEKI
Untuk Dapat Menjalankan Ibadah RAMADHAN 1442 H
Dengan sebaik baiknya.
#Tantangan
Guru Siana
#
dispendik Surabaya
#Guruhebat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar