“ URIP IKU KUDU
MANFAAT GAWE WONG LIYO “
Kematian atau ajal adalah akhir dari
kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada
akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit
atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh
makhluk hidup mengalami pembusukan. Istilah lain yang sering digunakan adalah
meninggal, wafat, tewas, atau mati. Entah mau sampai kapan saya terus-terusan
membiarkan si lepi-delli tak lagi cenunak-cenunuk keyboardnya hingga tersusun
dan terisi sebaris dua baris demi mengisi hampanya ruang blog. (Ruang
hampa-hatinya yang nulis kapan diisi? #eaakkk). Si lepi-delli kudu dipaksa biar
terbiasa keyboarnya cetak cetuk lagi. Biar blognya tak berdebu lagi. Biar hati
kembali bersorak, “yes, iso curhat nang blog meneh”. #huehehe. Oh ya, maapken
ya jika terdapat istilah-istilah aneh. Somehow, dalam beberapa tahun belakangan
ini saya sering menamai beberapa benda milik pribadi. Misalnya saja, motor
Supra merah, saya beri nama Si Supri (jadi selama ini, “Supri” yang nemenin
kemana-mana itu maksudnya Supra merah tho? Yes. That’s rigt. Haha). Sampai
leptop hitam, saya beri nama Si Lepi-Delli, atau kadang Si Delli. Tentu karena
mereknya D*ll. Entah kebiasaan ini muncul sejak kapan. Yang pasti, bukan sejak
ladang gandum berubah menjadi kokokrans. Urip iku urup. Bermakna, hidup itu menyala; memberi cahaya untuk
lingkungan sekitar. Urip iku yo urup, hidup itu ya memberi manfaat untuk orang
lain. Menyala untuk menerangi kegelapan, dan memberi terang agar tak ada lagi
yang tersesat mencari arah jalan pulang. Urip iku kudu urup. Tak jaman lagi
hidup hanya mementingkan diri sendiri. Masalah-masalah tak akan bisa selesai
hanya dengan sikap yang hanya bisa “mengutuki” tanpa berbuat sesuatu yang
memberi arti, bukan? Urip iku sejatine gowo manfaat kanggo wong urip
liyane. Translate: hidup itu sejatinya membawa manfaat untuk orang hidup
yang lain. Lho lha iya, kecuali kalau dulu sejak dalam kandungan,
kita tak bergantung pada orang lain (ibu) dalam hal mendapatkan makanan.
Kecuali bila dulu kita bisa terlahir begitu saja tanpa turun tangan para bidan
yang cantik dan bahkan dokter yang baik. Kecuali jika sejak dari dulu kita bisa
langsung berjalan tanpa perlu belajar tertatih terlebih dahulu dan ditatih ibu
dan bapak. Kecuali apabila sejak dulu kita bisa mandi sendiri dan memakai baju
sendiri tanpa ada uluran lembut tangan mama. Kecuali jika sejak dulu kita bisa
langsung pintar membaca-menulis tanpa diajari oleh orang tua dan bapak-ibu guru
yang terhormat di sekolah. Kecuali jika kita bisa merakit kendaraan sendiri,
mengebor bumi sampai dapat bensin sendiri. Kecuali jika nasi yang kita makan,
padinya kita tanam sendiri, kita panen sendiri, sampai kita selep dan
masak sendiri berasnya. Kecuali kalau sejak dulu tidak ada orang lain yang
terlibat dalam hidup kita. Kecuali itu semua, maka boleh lah kalau mau jadi
egois. Egois lah. Egois saja, sok atuh. Namun nyatanya, selalu ada
orang lain yang hidupnya tidak untuk diri mereka sendiri. Hidup-hidup mereka
selalu bersinggungan dengan hidup kita. Hidup ini rantai ketergantungan. Satu
sama lain salin tersulam dan membutuhkan. “Karena manusia makhluk sosial,”
begitu kata guru IPS dulu. “Jadi tolong diingat, hidupmu bukan untuk dirimu
saja”, begitu kesimpulan emas dari abang Neji Hyuga. Hidup itu seharusnya ya
“hidup”, menyala. Menyala semangatnya, menyala kepekaannya, menyala rasa
pedulinya, dan sejuta makna menyala lainnya. Hanya agar, pribadi ini tak lagi
menjadi pribadi paling egois di dunia. Insan yang hanya berpikir “yang penting
aku” kaya, “yang penting aku” bahagia, “yang penting aku” selamat, dan “yang
penting aku” lainnya. Lebih lagi, bagi rekan-rekan yang notabene rajin
sekali ngaji dan tholabul ‘ilmi. Jangan donks sampai
menjadi pribadi yang paling rajin mengaji, paling rajin tholabul ilmi,
paling sholih sedunia, tapi menjadi paling apatis juga sejagat raya.Kan jadi
lunyu, eh lucu. Seolah-olah, agama dan kepercayaannya masing-masing itu
mengajari untuk menggapai setinggi-tingginya langit, tapi amnesia bahwa ia
masih saja menginjak bumi. Tentu paling baik adalah bersikap pertengahan. Lho katanya
agama ini agama pertengahan? Tentu dalam bersikap juga mesti pertengahan,
bukan, kawans? Yakni, menyulam pahala hingga menganak-tangga dan melangit
tinggi, dan tetap memberi jejak kebermanfaatan di bumi. Tentu agama kita tidak
pernah mengajari kita menjadi pribadi yang egois, kan, temans? Yang
hanya “menggapai” langit, namun lupa kita ini masih berada di dunia dan kaki
masih menapak di atas bumi. Tidak. Lebih lagi Islam, tak seegois itu. Pikiran
haruslah melangit tinggi, tetapi jiwa tetap harus down to earth.Maka,
urip iku kudu urup. Hidup itu kudu menyala, memberi arti di setiap sisi. Duh,
bukan berarti saya sudah menjadi orang paling bermanfaat sealam raya. Belum.
Belum sama sekali. Saya masih saja merasa hanya butiran debu, remukan rempeyek,
yang masih apalah-apalah itu (#drama banget). Tentu, petuah ini saya sampaikan
untuk diri sendiri yang masih apalah-apalah ini. Hanya agar, mau bergegas
menjadi lentera dan mulai menyalakan hidupnya sendiri, syukur-syukur hidup
orang lain. Tak lagi leyeh-leyeh di “kursi” nyamannya,
“berbaring-baring santai” di kasur empuknya, dan berleha-leha di zona nyamannya
Sepulang dari Kumpul Keluarga Pada Hari Minggu 18/8/2019 Pukul
13.00 , Ada telpon dari Warga RT.03 RW 05 Bulak Rukem Gang VII Kelurahan
Wonokusumo , Kecamatan Semampir meninggal Dunia, dan membutuhkan Bantuan
Ambulance Gratis Milik Pemkot Surabaya untuk diangkut Ke Makam dari Bulak Rukem VII B
Ke Pemakaman Wonokusumo , Dengan Tetap semangat Dan berpegang pada Semboyan
Bahwa Wong URIP Iku Kudu GAWE Wong Liyo Bukan Menjadi Penghakalang , Karena
Dengan membantu dan bermanfaat untuk orang lain insyah Allah Akan membantu Dan
menurunkan Rezeki sampai kapanpun, Jadi Prinsip yang selalu saya PEGANG dan
Saya Terapkan baik Ke Siswa Maupun URIP IKU KUDU MANFAAT GAWE WONG LIYO OJOK
NDELOK DUIT .