Sabtu, 27 Desember 2025

Lentera di Tengah Badai: Mengapa Literasi Kebencanaan Adalah Harga Mati

                               Lentera di Tengah Badai: Mengapa Literasi Kebencanaan

Adalah Harga Mati

 

Kita sering merawat ingatan tentang bencana hanya lewat nisan dan air mata. Di negeri yang dipeluk oleh cincin api ini, bencana bukanlah tamu yang mengetuk pintu; ia adalah tetangga yang bisa datang tanpa salam. Namun, ironisnya, kita seringkali lebih memilih untuk abai hingga tanah benar-benar berguncang di bawah kaki.

Literasi kebencanaan bukan sekadar tumpukan data atau prosedur kaku di atas kertas. Ia adalah bahasa kasih sayang. Ia adalah suara seorang ayah yang dengan tenang menuntun anaknya ke tempat tinggi saat laut menyurut, atau seorang guru yang melindungi murid-muridnya karena ia tahu ke mana harus berlari. Tanpa literasi, kepanikan adalah musuh yang lebih mematikan daripada bencana itu sendiri. Kita kehilangan nyawa bukan hanya karena reruntuhan, tetapi karena ketidaktahuan yang membutakan.

Urgensi literasi ini terletak pada kemampuan kita untuk "membaca" alam. Ketika kita membekali diri dengan pengetahuan mitigasi, kita sebenarnya sedang membangun benteng martabat manusia. Kita tidak lagi pasrah sebagai korban yang tak berdaya, melainkan berdiri sebagai penyintas yang tangguh. Literasi mengubah rasa takut yang melumpuhkan menjadi kewaspadaan yang menyelamatkan.

Setiap detik yang kita gunakan untuk mempelajari jalur evakuasi atau memahami tanda-tanda alam adalah investasi untuk napas orang-orang yang kita cintai. Kita tidak bisa menghentikan bumi untuk bergejolak, namun kita bisa memastikan bahwa saat itu terjadi, kita tidak sedang menggali kubur kita sendiri karena kelalaian.

Pada akhirnya, literasi kebencanaan adalah janji kita kepada generasi mendatang. Ini adalah cara kita berkata kepada anak-cucu kita bahwa kita cukup mencintai mereka untuk tidak membiarkan mereka menghadapi amuk alam dengan tangan kosong. Pengetahuan adalah lentera; dan di tengah badai yang gelap, lentera itulah yang menentukan siapa yang akan melihat fajar keesokan harinya.

 

 

 Penulis

BANU ATMOKO

Kepala SMP PGRI 6 Surabaya , Ketua MKKS SMP Swasta Surabaya Utara Dan Mahasiswa S2 RPL MANAJEMEN Pendidikan UNESA Kelas E

Email : 24010845144@mhs.unesa.ac.id       

NO HP 083857963098

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar