“ MENUNTUT ILMU TAK KENAL BATAS USIA
DALAM MENCERDASKAN GENERASI EMAS UNGGUL
DAN BERKARAKTER “
HARI KE - 39
Ada ungkapan yang mengatakan,
“Belajar di waktu muda bagai mengukir di atas batu. Belajar di waktu tua bagai
melukis di atas air.” Itulah petikan lagu yang tren pada tahun 80-an yang
dipopulerkan salah satu orkes Melayu, El Suraya, pimpinan Ahmad Baki. Sebenarnya,
ungkapan ini untuk memotivasi anak muda agar giat belajar dan menuntut ilmu.
Masa muda hendaklah dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membekali diri dengan
ilmu pengetahuan. Namun, bukan berarti orang yang sudah memasuki usia senja sudah
terlepas tanggung jawabnya untuk menuntut ilmu. Banyak orang yang sudah
berusia, berlindung dari kewajiban belajar dengan ungkapan ini. Menurut mereka,
masa tua sudah dibebaskan dari kewajiban menuntut ilmu. Karena daya ingatnya
sudah tak mampu lagi merekam pelajaran. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya
seseorang yang usianya sudah 80 tahun. Apakah orang tua itu masih pantas untuk
menuntut ilmu? Imam Hasan menjawab, “Jika ia masih pantas hidup.” Demikianlah
hakikat dari menuntut ilmu, ia menjadi ruh bagi kehidupan. Siapa yang
menganggap dirinya masih pantas untuk hidup, maka dia mesti belajar dan
menambah pengetahuannya. Imam al-Hasan menegaskan, tak ada batasan usia bagi
orang yang mau menuntut ilmu. Ada banyak kisah yang berhasil diungkap media. Di
antaranya, nenek Shalih yang hafal Alquran di usia 82 tahun. Ada pula kisah Dra
Djauharah Bawazir SPsi MPd yang hafal Alquran di usia 70 tahun. Uniknya, nenek
Djauharah berhasil menghafal Alquran dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 39
hari. Prestasi nenek Djauharah tentu telah mencibir anak muda yang menghabiskan
waktu bertahun-tahun untuk menghafal Alquran. Ia membuktikan, Alquran telah
dijamin kemudahannya oleh Allah SWT dan diulang-ulang beberapa kali dalam
ayat-Nya. Lalu, masihkah orang yang sudah berusia menolak untuk belajar atau
menghafal Alquran?Tak ada alasan untuk tidak belajar di usia senja. Tidak ada
kata terlambat untuk kembali mengkaji ilmu-ilmu Islam. Tak perlu pula merasa
malu atau minder karena dianggap terlambat memulai mengkaji Islam. Banyak
sekali dalam sejarah Islam dikisahkan, betapa banyak orang-orang yang lanjut
usia, tetapi tidak sungkan untuk belajar ilmu agama. Ibnu Mandah berangkat
menuntut ilmu di usia 20 tahun dan menghabiskan usianya selama 45 tahun untuk
menuntut ilmu di perantauan. Di usia yang sudah senja, 65 tahun, ia baru pulang
dan menjadi ulama besar di kampung halamannya.Ja'far bin Durustuwaih pernah
mengisahkan, suatu kali ia berada dalam majelis ilmu Ali bin Al-Madini. Ketika
waktu Ashar tiba, majelis itu telah penuh sesak oleh para penuntut ilmu yang
akan dimulai esok harinya. Setiap pelajar tidak mau meninggalkan tempat
duduknya, takut akan terisi oleh orang lain. Mereka menungguinya sepanjang
malam agar mendapatkan posisi yang di depan. Bahkan seorang bapak tua, kisah
Ja'far, terpaksa buang air kecil di jubahnya, karena ia takut pergi ke kamar
mandi dan meninggalkan tempat duduknya. “Saya melihat seorang yang sudah tua di
majelis tersebut buang air kecil di jubahnya. Karena ia khawatir tempat
duduknya diambil, apabila ia berdiri untuk buang air kecil ke kamar mandi,”
kata Ja'far mengisahkan.Betapa antusiasnya orang-orang terdahulu mencari ilmu
agama. Bahkan, dalam kisah Ja'far, orang yang sudah tua sekalipun tak kalah
bersemangatnya dari anak muda. Semangat inilah yang sudah pudar pada umat Islam
saat ini. Semangat menuntut ilmu semakin pudar, seiring bertambahnya usia.
Padahal, kewajiban menuntut ilmu tak pernah berkurang dengan bertambahnya usia.Dunia
pendidikan sudah lama mendengungkan istilah long life education (pendidikan seumur
hidup). Demikian juga pengakuan negara seperti tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun
1989 tentang penegasan pendidikan seumur hidup yang dikemukakan dalam pasal 10
ayat 1. Padahal, sebenarnya Islam sendiri telah terlebih dahulu mengemukakan
istilah ini. Betapa banyak kisah-kisah yang memberi teladan bahwa menuntut ilmu
tak kenal batas usia. Dunia sains abad modern sudah membuktikan, otak manusia
masih bisa dipakai dalam waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Manusia hanya
memakai 10 persen dari otaknya. Ini membuktikan, kapasitas dan daya tampung
otak manusia tak pernah penuh. Ia akan bisa dipakai untuk belajar oleh orang
yang sudah tua renta berusia ratusan tahun.
Dalam
rangka mengatasi permasalahan peserta didik selama Pembelajaran Jarak Jauh,
maka Dinas Pendidikan Kota Surabaya akan menyelenggarakan penguatan kompetensi
Guru BK melalui Gerakan Menyambut Siswa Belajar dengan Ikatan Rasa (GEMBIRA) ,
Pada Hari Selasa 8/2/2022 Guru BK SMP PGRI 6 Surabaya Sekolah Peduli
Berbudaya Lingkungan yang terletak di Jalan Bulak Rukem III No 7 – 9 Kelurahan
Wonokusumo Kecamatan Semampir Ibu YUNI
ISMARYATI ,S.Pd mendatangi SMP NEGERI 26 Surabaya Untuk Menghadiri Penguatan Guru BK melalui
Gerakan Menyambut Siswa Belajar dengan Ikatan Rasa (GEMBIRA )
Dalam
kesempatan tersebut Ibu YUNI ISMARYATI
,S.Pd belajar bersama Mas Munir , Alhamdulilah Ibu YUNI ISMARYATI ,S.Pd
menyampaikan bahwa di SMP PGRI 6 Surabaya Gerakan Menyambut Siswa Belajar
dengan Ikatan Rasa (GEMBIRA ) Semoga Ke
depan Siswa / Siswi SMP PGRI 6 Surabaya Menjadi Generasi EMAS UNGGUL Dan
BERKARAKTER
Menurut Penulis yang Juga Kepala SMP PGRI 6 Surabaya merasa
bangga dengan Ibu YUNI ISMARYATI ,S.Pd bahwasannya Walaupun Usia Tidak muda
Tetapi semangat untuk belajar sangat Tinggi Dalam Mencerdaskan GENERASI EMAS
UNGGUL DAN BERKARAKTER
#
Tantangan GuruSiana
#Guruhebat
#Dinaspendidikan
Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar