“
Kenalkan Adat Tradisi Jawa Sedini Mungkin “
Tradisi
tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional
selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi
ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada
waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda
bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali, namun satu
pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap raja Kediri,
yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan
agar menjalankan tiga hal, yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00,
diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera:
“Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing
jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun. Ingsun pudya sampurna dadi
manungsa.” Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian
dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih
atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda
tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar.Setelah
kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris
oleh suaminya. Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa
menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu,
ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan
lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau
kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda,
karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu
apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi
ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Batas tujuh bulan,
sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi
dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput)
dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini
menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur.Itulah
sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin.
Dalam
Mengenalkan Adat Jawa Ke Warga Bulak Rukem III Pada Hari Rabu 9/5/2018 ,
Keluarga Besar Ketua Yayasan Pendidikan AL-IKHLAS Semampir Bapak H. Hartono ,
B.A Dan Ibu KASMIJATI Mengadakan Hajatan yaitu Tingkeban ( 7 Bulanan ) Putrinya
Yang Bernama CAHYANING DARMASTITI , S.Farm, sebelum Prosesi Acara Tingkeban di
mulai Di lakukan Pembacaan Surat Maryam dan Surat Yusuf yang di pimpin Oleh Ibu
Nyai Aminah , Selesai Pembacaan Surat Mariyam Dan Yusuf Ibu Nyai Aminah
Memberikan Tausiyah Tentang Tingkepan Menurut Islam , Selesai Memberikan
Tausiyah Bapak Dalang Selaku MC Memulai Acara Tingkepan yaitu Pertama CAHYANING
DARMASTITI , S.Farm meminta Restu Kepada Sang Suami , Setelah Itu Memohon Restu
Kepada Sang Ayah Bapak H. Hartono , B.A dan Ibu KASMIJATI , Selesai
Sungkeman Dilanjutkan dengan acara
Siraman Yang Pertama Di Pimpin Oleh Ibu
Nyai Aminah agar Mendapatkan Berkah Dan Barokah Selamanya, Selesai Siraman yaitu Memakai 7 Baju Selesai memakai 7 Baju
Suami dari CAHYANING DARMASTITI , S.Farm memotong Cengker dan memasukan
telur ( Procotan ) selesai Itu CAHYANING DARMASTITI , S.Farm dan suami
melakukan Jualan Dawet Dan Rujak . Setelah Jual Dawet Dan Rujak Memotong
Tumpeng , Sebelum Tumpeng di potong di pimpin doa Oleh Ibu HJ Umar . Menurut
Bapak H. HARTONO , B.A Kegiatan ini supaya Bayi yang di kandung oleh CAHYANING
Darmastiti itu sehat dan persalinan Lancar serta mengenalkan Adat Budaya Jawa
Ke Warga Bulak Rukem III .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar