Rabu, 09 Mei 2018

“ Kenalkan Adat Tradisi Jawa Sedini Mungkin “



































“ Kenalkan Adat Tradisi Jawa Sedini Mungkin “
Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun. Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.” Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar.Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya. Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur.Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin.
Dalam Mengenalkan Adat Jawa Ke Warga Bulak Rukem III Pada Hari Rabu 9/5/2018 , Keluarga Besar Ketua Yayasan Pendidikan AL-IKHLAS Semampir Bapak H. Hartono , B.A Dan Ibu KASMIJATI Mengadakan Hajatan yaitu Tingkeban ( 7 Bulanan ) Putrinya Yang Bernama CAHYANING DARMASTITI , S.Farm, sebelum Prosesi Acara Tingkeban di mulai Di lakukan Pembacaan Surat Maryam dan Surat Yusuf yang di pimpin Oleh Ibu Nyai Aminah , Selesai Pembacaan Surat Mariyam Dan Yusuf Ibu Nyai Aminah Memberikan Tausiyah Tentang Tingkepan Menurut Islam , Selesai Memberikan Tausiyah Bapak Dalang Selaku MC Memulai Acara Tingkepan yaitu Pertama CAHYANING DARMASTITI , S.Farm meminta Restu Kepada Sang Suami , Setelah Itu Memohon Restu Kepada Sang Ayah Bapak H. Hartono , B.A dan Ibu KASMIJATI , Selesai Sungkeman  Dilanjutkan dengan acara Siraman Yang  Pertama Di Pimpin Oleh Ibu Nyai Aminah agar Mendapatkan Berkah Dan Barokah Selamanya, Selesai Siraman  yaitu Memakai 7 Baju Selesai memakai 7 Baju Suami dari CAHYANING DARMASTITI , S.Farm memotong Cengker  dan memasukan  telur ( Procotan ) selesai Itu CAHYANING DARMASTITI , S.Farm dan suami melakukan Jualan Dawet Dan Rujak . Setelah Jual Dawet Dan Rujak Memotong Tumpeng , Sebelum Tumpeng di potong di pimpin doa Oleh Ibu HJ Umar . Menurut Bapak H. HARTONO , B.A Kegiatan ini supaya Bayi yang di kandung oleh CAHYANING Darmastiti itu sehat dan persalinan Lancar serta mengenalkan Adat Budaya Jawa Ke Warga Bulak Rukem III .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar